PENGARUH
PEMANASAN LAMPU PIJAR DALAM BERBAGAI DAYA TERHADAP PERKEMBANGAN PRADEWASA NYAMUK Aedes aegypti
DI LABORATORIUM
Cahya Edi
Prastyo, Retno Hestiningsih*, Hasan Boesri**
*Pengajar di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
** Peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan
Reservoir Penyakit Salatiga
PENDAHULUAN
Banyak penelitian yang
mengkaji tentang nyamuk Aedes aegypti menuntut banyaknya sampel nyamuk yang
dibutuhkan serta cara lain agar bias memenuhi kebutuhan yang diperlukan.
Menurut beberapa penelitian seperti Gjulin dan Coworkers (1950)
menemukan bahwa telur Ae. vexans dan Ae.Sticticus dapat bertahan sampai 3
tahun pada kelembaban yang terjaga.1 Dalam penelitian Brown (1962)
telur nyamuk Ae. aegypti yang
diletakkan di dalam air akan menetas dalam waktu 1 – 3 hari pada suhu 300C,
tetapi membutuhkan waktu 7 hari pada suhu 160C. Temperatur optimal
untuk pertumbuhan larva Ae. aegypti adalah 250C – 300C.
Larva berubah menjadi pupa memerlukan waktu 4 – 9 hari sesuai suhu lingkungan.
Salah satu cara yang digunakan untuk menghangatkan air
guna pengembangbiakan nyamuk di laboratorium adalah dengan memberikan
penyinaran menggunakan lampu pijar. Lampu pijar dipilih karena aman, mudah
diperoleh dan pemakaiannya dapat dilakukan dengan rangkaian yang sederhana. Penggunaan
lampu pijar efektif dalam memproduksi panas karena mengubah 90% dari total
energi yang diserap menjadi panas dan 10% menjadi cahaya. Akan tetapi penggunaan lampu pijar
guna memanipulasi suhu lingkungan sampai saat ini masih belum dikaji lebih
jauh.untuk mengatasi masalah dalam pengadaan sampel nyamuk yang standar,
telah dilakukan penelitian tentang pengaruh lampu pijar dalam berbagai data
terhadap perkembangan nyamuk pra-dewasa Ae. Aegypti.
METODE
PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan merupakan rancangan eksperimen (experiment) yaitu pengumpulan sampel
untuk kelompok penelitian dilakukan secara acak dan dilakukan eksperimentasi
atau intervensi variabel. Adapun variable bebas adalah pemanasan dengan lampu berdaya 5 W, 10 W, 15 W,
25 W, 40 W, 60 W, 75 W dan 100 W, variabel terikat adalah Waktu dan jumlah
telur Aedes aegypti yang menjadi nyamuk serta variabel pengganggu adalah umur telur, suhu ruangan,
kelembaban,
predator, jenis kontainer, pH, pakan. Populasi penelitian adalah telur Aedes aegypti yang
ada di B2P2VRP dengan sampel berjumlah 800 telur dari 4 ulangan penelitian yang
dilakukan pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Pengambilan data dilakukan dengan
pengamatan dan pengukuran pada sampel penelitian yang mendapatkan intervensi
penelitian berupa pemanasan dengan lampu pijar yang dilakukan di Laboratorium
Uji Kaji Insektisida B2P2VRP. Pengukuran dan pengamatan dilakukan 4 kali sehari
yaitu jam 08.00, 12.00, 17.00 dan 20.00. Analisis data yang dilakukan berupa uji
hubungan dengan uji rank spearman, uji pengaruh dengan bantuan analisis probit,
uji beda variabel dengan uji anova dan uji krusskall-wallis serta uji beda pasangan variabel dengan uji
LSD dan Mann-Whitney.
HASIL
PENELITIAN
Karakteristik
tempat penelitian
Suhu ruangan selama penelitian memiliki suhu rata-rata
25,80C dengan kisaran suhu antara 230C-300C.
kelembaban ruangan. Kelembaban
ruangan selama penelitian memiliki rata-rata
86,6% dengan
kisaran kelembaban mulai dari 74% sampai dengan 98%.
Suhu
air normal normal dan perlakuan
Suhu
air normal selama penelitian memiliki
rata-rata 23,50C dan kisaran
suhu mulai 22,50C sampai dengan 240C. Sedangkan Suhu air perlakuan selama
penelitian memiliki
rata-rata suhu terendah yaitu pada
lampu 5W dengan suhu 25,970C,
dan
rata-rata suhu tertinggi yaitu pada suhu 100W dengan suhu 30,480C.
Jumlah telur yang menetas terbanyak pada pemanasan
dengan lampu pijar berdaya 60W yaitu sebanyak 24 butir telur atau 96%. Penetasan
paling cepat terjadi pada pemanasan dengan lampu pijar berdaya 40W dengan waktu
34,4 jam untuk 90% telur yang menetas menjadi larva. Pupa yang terbentuk terbanyak berjumlah 23,25 pupa atau 93 % dari jumlah telur awal pada lampu
40W dan pemanasan paling cepat untuk terbentuknya pupa pada pemanasan dengan
lampu berdaya 100 W dengan waktu 146,2 jam atau + 7 hari untuk 90%
perubahan dari larva ke pupa. Jumlah nyamuk didapatkan paling
banyak pada pemanasan dengan lampu berdaya
40W dengan 22,75
nyamuk atau 97,8% dari
jumlah telur awal dan paling
cepat untuk pertumbuhan pupa menjadi nyamuk ada pada pemanasan dengan lampu
berdaya 100W dengan 183,385 jam untuk 90% perubahan dari pupa ke nyamuk. Jumlah
telur yang menetas menjadi larva, larva menjadi pupa dan pupa menjadi nyamuk
serta estimasi waktunya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah
dan Estimasi Waktu 90% Telur Menetas Menjadi Larva, Larva Menjadi Pupa dan Pupa
Menjadi Nyamuk.
Daya
Lampu (W)
|
n
|
f telur
menetas
|
t telur menetas
(jam)
|
f pupa
|
t pupa
(jam)
|
f
nyamuk
|
t nyamuk
(jam)
|
5
|
25
|
19,8
|
66,3
|
19,0
|
192,8
|
17,5
|
248,0
|
10
|
25
|
22,0
|
46,4
|
17,5
|
231,9
|
16,3
|
263,1
|
15
|
25
|
20,5
|
54,8
|
19,5
|
188,7
|
19,0
|
230,9
|
25
|
25
|
20,0
|
63,8
|
18,0
|
210,5
|
17,5
|
237,6
|
40
|
25
|
23,5
|
34,4
|
23,3
|
162,6
|
22,8
|
205,3
|
60
|
25
|
24,0
|
38,8
|
21,8
|
176,6
|
21,8
|
205,7
|
75
|
25
|
22,5
|
54,8
|
20,3
|
149,2
|
19,3
|
188,7
|
100
|
25
|
22,0
|
53,3
|
20,8
|
148,6
|
20,8
|
183,4
|
Uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa ada
hubungan yang berkorelasi positif antara daya lampu dengan suhu air perlakuan.
Ada perbedaan waktu untuk telur menetas menjadi larva, larva menjadi pupa dan
pupa menjadi nyamuk serta ada perbedaan antar 2 variabel signifikan pada
sebagian besar pasangan variabel. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Rangkuman Jenis Uji Yang
Dipergunakan untuk Penelitian Pengaruh Lampu Pijar Terhadap Penetasan Telur dan
Perkembangan Larva Aedes Aegypti
Jenis uji
|
Alat uji
|
Variabel
|
Hasil
|
Uji hubungan
|
Rank spearman
|
Daya lampu dengan suhu perlakuan
|
p:0,0001
|
Uji perbedaan variabel
|
Anova
|
Waktu penetasan telur
|
p: 0,031
|
Uji beda antar 2 variabel
|
LSD
|
Waktu penetasan telur
|
Beda pada 10W,15W, 25W,40W, 60W,75W
dan 100W
|
Uji perbedaan variabel
|
Anova
|
Waktu pupa terbentuk
|
p: 0,0001
|
Uji beda antar 2 variabel
|
LSD
|
Waktu pupa terbentuk
|
Beda pada 5W,10W,15W, 25W,
|
Uji perbedaan variabel
|
Krusskal-wallis
|
Waktu nyamuk terbentuk
|
p: 0,001
|
Uji beda antar 2 variabel
|
Mann-Whitney
|
Waktu nyamuk terbentuk
|
Beda pada 5W,10W,15W,25W,40W,60W,75W
dan 100W
|
PEMBAHASAN
Suhu Air Perlakuan
Air yang ada pada gelas plastik mendapatkan pemaparan
kalor dengan cara radiasi dari bola lampu sebagai sumber kalor. Pada penelitian
ini tidak dilakukan penggantian air karena pergantian atau pencampuran air
dapat mengurangi pengaruh suhu tinggi.
Uji korelasi rank spearman menunjukkan bahwa ada
hubungan pemanasan lampu pijar dengan suhu air perlakuan dengan p:0,0001. Hubungan
pemanasan lampu pijar dalam berbagai daya dengan suhu air perlakuan berlangsung
positif dimana dengan penambahan daya
pada lampu pijar maka semakin tinggi pula suhu air perlakuan. Pada
penelitian ini Lampu pijar sebagai sumber panas akan melepaskan panas dengan
cara radiasi ke lingkungan. Besarnya panas yang dikeluarkan sebanding dengan
daya lampu. Semakin besar daya lampu semakin besar pula energi panas yang
dihasilkan. Panas yang dikeluarkan oleh lampu diserap oleh air yang menyebabkan
suhu air meningkat. Salah satu karakteristik air adalah cepat dalam menyerap
panas tetapi cepat juga dalam melepaskan panas. Hal ini bisa dilihat dari
besarnya pengaruh berupa kenaikan suhu tiap pemanasan.
Suhu air perlakuan diukur dengan cara rata-rata suhu air
harian dari gelas perlakuan. Suhu air mengalami suhu tertinggi setiap
pengukuran pada jam 12.00 WIB atau tepatnya pada saat siang hari karena pada saat itu
matahari dapat memancarkan cahaya ke lingkungan dengan maksimal. Suhu terendah
penelitian didapatkan pada pengukuran jam 8.00 WIB. Hal ini terjadi karena saat
setelah sore hari tepatnya setelah matahari terbenam, lingkungan tidak
mendapatkan pancaran kalor akibatnya terjadi pelepasan kalor dari lingkungan
sehingga suhu air termasuk suhu air perlakuan menjadi lebih dingin.
Pada penelitian diperoleh suhu rata-rata air perindukan
sebagai berikut pemanasan
5 W didapatkan rata-rata 25,970C. Pada pemanasan dengan lampu 10W
didapatkan suhu rata-rata 26,480C. Pada pemanasan dengan lampu 15 W
didapatkan suhu rata-rata 26,720C. Pada pemanasan dengan lampu 25W
didapatkan rata-rata 26,850C. Pada pemanasan dengan lampu 40 W
didapatkan rata-rata 27,410C. Pada pemanasan dengan lampu 60W
didapatkan rata-rata 28,390C. Pada pemanasan dengan lampu 75W
didapatkan rata-rata 29,450C. Dan pemanasan yang terakhir pada
pemanasan dengan lampu 100W didapatkan rata-rata 30,480C. Suhu air
perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Grafik
suhu air perlakuan
Pada pengukuran air tanpa pemanasan dengan lampu pijar
didapatkan rata-rata suhu sebesar 23,50C. Suhu air normal tanpa
mendapat perlakuan berupa pemanasan dengan lampu pijar dapat dilihat pada
gambar 4.
Gambar 4. Suhu Air Normal Pada Laboratorium
Uji Kaji Insektisida B2P2VRP tanggal 18-31 januari 2011
Besarnya pengaruh pemanasan pada suhu air perindukan
dapat ditentukan dengan menentukan selisih antara suhu air akibat pemanasan dengan
suhu rata-rata tanpa pemanasan. Jadi besarnya pengaruh pemanasan dengan lampu
5W terdapat selisih sebesar 2,50C, pemanasan dengan lampu 10W
terdapat selisih sebesar 2,980C, pemanasan dengan lampu 15W terdapat
selisih sebesar 3,20C, pemanasan dengan lampu 25W terdapat selisih
sebesar 3,40C, pemanasan dengan lampu 40W terdapat selisih sebesar
3,90C, pemanasan dengan lampu 60W terdapat selisih sebesar 4,90C,
pemanasan dengan lampu 75W terdapat selisih sebesar 5,950C dan
pemanasan dengan lampu 100W terdapat selisih sebesar 6,980C.
Pengaruh pemanasan air perindukan nyamuk dengan lampu
pijar telah meningkatkan suhu air perindukan ke suhu optimal untuk
perkembangbiakan nyamuk yaitu: pada suhu optimal telur menetas menjadi larva
pada suhu 250C-270C, perubahan larva menjadi pupa 250C-300C
dan perubahan pupa menjadi nyamuk 270C-320C.1
Adapun suhu tercepat untuk telur menetas menjadi larva pada penelitian ada pada
pemanasan dengan 40W dengan suhu rata-rata 27,410C. Suhu tercepat
untuk larva berubah menjadi pupa dan pupa berubah menjadi nyamuk pada
penelitian ada pada lampu 100 W dengan rata-rata suhu 30,480C.
Penetasan Telur
Pada penelitian ini telur pertama kali menetas setelah
direndam air selama 3 jam. Urutan penetasan telur pertama kali ada pada
pemanasan dengan lampu pijar berdaya 5W, 25W, 100W , 40W dan 60W.
Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi perkembangan telur dengan 2 cara yaitu mempengaruhi kecepatan
metabolisme telur dan mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut dalam air. Pada
penelitian ini suhu untuk penetasan terbanyak terdapat pada lampu 60W yang
bersuhu 28,390C tetapi waktu paling cepat untuk penetasan telur
menjadi larva pada populasi, ada pada suhu 40W yang memiliki rata-rata suhu
27,380C yang mendekati dengan suhu optimal. Kecepatan telur menetas
menjadi larva dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Kecepatan Telur Menetas
Menjadi Larva
Adapun kecepatan penetasan telur yang paling cepat berdasarkan
penetasan kelompok telur adalah pemanasan dengan suhu 40W yang membutuhkan
waktu 34,4 jam (+ 2 hari) untuk 90%
penetasan telur. Kecepatan penetasan ini dipengaruhi oleh suhu air yang berada
pada suhu optimal untuk menetaskan telur yaitu 27,380C dengan
rata-rata pengukuran pada saat itu antara 26,50C sampai dengan 280C.
suhu optimal telur akan membuat metabolisme maksimal dengan kadar oksigen
terlarut yang sesuai dengan kebutuhan telur yang nantinya akan berdifusi ke
dalam telur, untuk memenuhi kebutuhan metabolisme telur.
Kerusakan telur saat penyimpanan karena paparan panas
dapat terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Uda (2008) yang mengkaji
tentang efek lama pencahayaan telur Aedes saat penyimpanan terhadap daya tetas
telur Aedes albopictus dengan
menempatkan telur tersebut pada ruang dengan suhu 310C sebelum
berada dalam air, menyimpulkan bahwa semakin lama telur terpapar cahaya sebelum
terpapar air, semakin menurun kadar penetasan dan penurunan kadar penetasan terjadi
secara linear dari hari ke hari.2
Jadi apabila dikaitkan dengan penelitian ini,
dimungkinkan kurangnya penetasan telur pada penelitian ini dikarenakan paparan
cahaya pada telur sebelum dilakukan penelitian.
Penetasan telur tidak dapat
terjadi apabila telur tersebut:1
1. Fase
embrionasi yang tidak lengkap
2. Dalam keadaan diapause
3. Tidak terkondisi dengan lingkungan
sekitar, termasuk tingkat kekeringan dan kelembaban chorion (struktur cangkang)
dan
4. air tempat telur tidak dapat memberikan stimulus berupa
kandungan oksigen terlarut.
Perkembangan Larva menjadi Pupa
Pada penelitian ini pupa yang terbentuk paling banyak
pada lampu dengan daya 40W sebanyak 23,25
(93% dari total larva). Untuk keseluruhan pupa terbentuk mulai dari hari ke-5
sampai dengan hari ke-10. Suhu pada setiap pemanasan termasuk dalam suhu
optimal untuk pertumbuhan larva. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa Pada suhu
250C-300C larva dapat menjadi pupa dalam 5-7 hari.1Pupa
pertama kali terbentuk pada jam ke-118 (+ 5 hari) dengan pemanasan lampu
berdaya 5W, 60W dan 100 W dengan jumlah pupa yang terbentuk 1pupa, 3 pupa dan 9
pupa.
Pengaruh suhu pada setiap pemanasan mempengaruhi waktu
yang diperlukan untuk menjadi pupa. Dengan analisis probit didapatkan bahwa pertumbuhan
larva menjadi pupa paling cepat berdasarkan perubahan kelompok larva menjadi
pupa pada pemanasan dengan lampu 100W yang membutuhkan waktu 146,2 jam (7 hari)
untuk membentuk 90% pupa. Kecepatan larva menjadi pupa dapat dilihat pada
gambar 6.
Gambar 6. Kecepatan Larva Menjadi
Pupa
Pupa pertama terbentuk mulai jam ke 118 (5 hari)
penelitian. Hal ini sesuai dengan teori nyang menyatakan bahwa peningkatan suhu air dapat
meningkatkan aktivitas makan organisme, meningkatkan metabolisme organisme,
penurunan oksigen terlarut, dan pada suhu ekstrim menyebabkan kematian kultur.3 Peningkatan kecepatan
metabolisme larva menjadi pupa karena pengaruh pemanasan dengan lampu pijar
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada semua makhluk hidup di Bumi yang terdiri dari molekul air dan protein
kompleks, apabila mendapat pengaruh sumber panas maka molekul air menjadi tidak stabil karena jika molekul air dioksilasikan dengan panjang
gelombang antara 8-10 mikron
(itu adalah panjang gelombang oksilasi air) akan terjadi semacam getaran
ketidakstabilan (resonansi) yang
dapat menyebabkan ionisasi air
tersebut menjadi ion Hidrogen (H+) dan Hidroksil (OH-) yang terjadi dengan kecepatan yang sangat
tinggi (10/12 detik). Ionisasi ini dinamakan "Pengaktifan Air“. Jika proses pengaktifan
ini terjadi di seluruh tubuh manusia, metabolisme sel dan proses pembuangan
sisa metabolisme sel menjadi lebih aktif dan efektif.
Kematian larva mungkin diakibatkan karena:
1. Larva gagal
menyesuaikan diri dengan lingkungan1, beberapa kematian terjadi
tepat setelah telur menetas,
2. Benturan fisik
pada larva, hal ini dimungkinkan karena penelitian ini membutuhkan data suhu
serta jumlah larva yang mengakibatkan pengukuran dengan termometer dan pengambilan
dengan pipet selalu dilakukan sehingga membuat adanya kemungkinan larva
terganggu.
Perkembangan Pupa Menjadi Nyamuk
Pada penelitian ini keseluruhan pembentukan nyamuk
dimulai dari hari ke 7 sampai dengan hari 12 dengan perubahan pupa antara 33
jam (1,4 hari) – 58 jam (2,4 hari). Hal
ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Perkembangan dari pupa menjadi nyamuk
berlangsung selama 1-5 hari tergantung pada suhu, pada suhu optimum yaitu 800F-900F
(270C-320C) stadium pupa jantan berlangsung 1,9 hari dan
betina 2,5 hari.4 Waktu tercepat yang diperlukan untuk pupa jantan dan
betina menjadi nyamuk jantan dan betina pada penelitian terjadi pada pemanasan
100 W dengan + 33 jam (1,4 hari) dan + 43 jam (1,8 hari).
Analisis probit menunjukkan bahwa pemanasan dengan
menggunakan lampu 100W memiliki waktu untuk pembentukan nyamuk paling cepat
yaitu 183,385 jam (8 hari) untuk menetaskan 90% pupa awal. Kecepatan pupa menjadi
nyamuk dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Kecepatan Pupa Menjadi
Nyamuk
Adapun kematian pupa sebagai berikut: pada pemanasan
dengan lampu 5W ada 6 pupa, lampu 10W ada 5 pupa, lampu 15W ada 2 pupa, lampu
25W ada 2 pupa, pada lampu 40 W ada 2 pupa, pada lampu 60W ada 2 pupa dan pada
lampu 75 W ada 4 pupa.
Kematian pupa yang terjadi dimungkinkan karena: Gagal
beradaptasi dengan lingkungan baru. Pupa yang belum sempurna, kematian pupa
terjadi pada pupa yang masih baru, yang masih berwarna putih. Hal ini mungkin
terjadi karena pupa tidak dapat beradaptasi dengan suhu lingkungan pada saat
pemindahan ke gelas khusus pupa.
Kesimpulan
1.
Pada penetasan
dengan pemanasan lampu pijar didapatkan telur menetas sebanyak 24 (96%)
pada pemanasan lampu 60W dengan penetasan telur menjadi larva pertama kali pada
jam ke 3 penelitian pada pemanasan dengan lampu 5W, 25W, 100W , 40W dan 60W. Pupa
yang terbentuk pada pemanasan lampu 40W didapatkan telur sebanyak 23,25 (98,9%) dan nyamuk
yang terbentuk sebanyak 22,75 (97,8%) pada pemanasan lampu 40W.
2.
Rata-rata suhu air perlakuan paling tinggi pada pemanasan
100W dengan suhu 30,480C dan paling
rendah pada pemanasan 5W dengan suhu 25,970C.
3.
Penetasan telur paling cepat pada pemanasan 40 W
dengan 34,4 jam, pertumbuhan larva menjadi pupa dan pupa menjadi nyamuk paling
cepat pada pemanasan lampu 100W dengan 146,2 jam dan 183,385 jam.
4.
Ada hubungan yang berkorelasi positif antara pemanasan
lampu pijar dengan suhu air dengan p:0,0001. Ada perbedaan waktu penetasan
telur, waktu pupa terbentuk dan waktu nyamuk terbentuk pada tiap pemanasan
lampu pijar.
5.
Penetasan paling efektif untuk perkembanganbiakan
nyamuk Aedes aegypti dengan lampu pijar adalah pemanasan dengan
lampu 40W.
Keterbatasan
penelitian
1.
Dalam pelaksanaan pengamatan subyek penelitian harus
di keluarkan dari gelas plastik dan pengukuran dilakukan diluar tempat
perlakuan sehingga ada kemungkinan suhu turun karena adanya perpindahan panas
ke lingkungan lebih besar.
2.
Keterbatasan peneliti untuk melaksanakan pengamatan
setiap jam, oleh karena itu diambil waktu pengamatan penelitian yang juga dapat
melihat pengaruh faktor lingkungan terhadap penelitian.
Daftar pustaka
1.
Hardwood,
R. F. dan Maurice T. J.
Entomology In Human And
Annimal Health. New york: macmillan publishing co
inc., 1979
2.
Uda,
S., Ahmad Ramli Saad dan Chien Mee Yieng. Analisis Kadar Penetasan Aedes albopictus
Menggunakan Sukatan Berulang. Malaysian
jurnal of mathematical sciences, 2 (2), 2008; hlm 125-132
3.
SITH,
ITB ,VEDCA dan SEAMOLEC. Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. 2009. (Online).
(www.search-docs.com diakses tanggal 14 Agustus 2010)
4.
Prasetyo, A. Perkembangan
Nyamuk Aedes aegypti
dari Telur sampai Dewasa pada Berbagai Volume Air. Skripsi tidak di dipublikasikan.
Semarang : Universitas diponegoro, 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar