Cari Blog Ini

Senin, 02 Desember 2013

PENGARUH PEMANASAN LAMPU PIJAR DALAM BERBAGAI DAYA TERHADAP PERKEMBANGAN PRADEWASA NYAMUK Aedes aegypti DI LABORATORIUM

PENGARUH PEMANASAN LAMPU PIJAR DALAM BERBAGAI DAYA TERHADAP PERKEMBANGAN PRADEWASA NYAMUK Aedes aegypti DI LABORATORIUM

Cahya Edi Prastyo, Retno Hestiningsih*, Hasan Boesri**

*Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
** Peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga
KepustakaanPENDAHULUAN

Banyak penelitian yang mengkaji tentang nyamuk Aedes aegypti menuntut banyaknya sampel nyamuk yang dibutuhkan serta cara lain agar bias memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Menurut beberapa penelitian seperti Gjulin dan Coworkers (1950) menemukan bahwa telur Ae. vexans dan Ae.Sticticus dapat bertahan sampai 3 tahun pada kelembaban yang terjaga.1 Dalam penelitian Brown (1962) telur nyamuk Ae. aegypti yang diletakkan di dalam air akan menetas dalam waktu 1 – 3 hari pada suhu 300C, tetapi membutuhkan waktu 7 hari pada suhu 160C. Temperatur optimal untuk pertumbuhan larva Ae. aegypti adalah 250C – 300C. Larva berubah menjadi pupa memerlukan waktu 4 – 9 hari sesuai suhu lingkungan.
Salah satu cara yang digunakan untuk menghangatkan air guna pengembangbiakan nyamuk di laboratorium adalah dengan memberikan penyinaran menggunakan lampu pijar. Lampu pijar dipilih karena aman, mudah diperoleh dan pemakaiannya dapat dilakukan dengan rangkaian yang sederhana. Penggunaan lampu pijar efektif dalam memproduksi panas karena mengubah 90% dari total energi yang diserap menjadi panas dan 10% menjadi cahaya. Akan tetapi penggunaan lampu pijar guna memanipulasi suhu lingkungan sampai saat ini masih belum dikaji lebih jauh.untuk mengatasi masalah dalam pengadaan sampel nyamuk yang standar, telah dilakukan penelitian tentang pengaruh lampu pijar dalam berbagai data terhadap perkembangan nyamuk pra-dewasa Ae. Aegypti.
METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan merupakan rancangan eksperimen (experiment) yaitu pengumpulan sampel untuk kelompok penelitian dilakukan secara acak dan dilakukan eksperimentasi atau intervensi variabel. Adapun variable bebas adalah pemanasan dengan lampu berdaya 5 W, 10 W, 15 W, 25 W, 40 W, 60 W, 75 W dan 100 W, variabel terikat adalah Waktu dan jumlah telur Aedes aegypti yang menjadi nyamuk serta variabel pengganggu adalah umur telur, suhu ruangan, kelembaban, predator, jenis kontainer, pH, pakan. Populasi penelitian adalah telur Aedes aegypti yang ada di B2P2VRP dengan sampel berjumlah 800 telur dari 4 ulangan penelitian yang dilakukan pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan dan pengukuran pada sampel penelitian yang mendapatkan intervensi penelitian berupa pemanasan dengan lampu pijar yang dilakukan di Laboratorium Uji Kaji Insektisida B2P2VRP. Pengukuran dan pengamatan dilakukan 4 kali sehari yaitu jam 08.00, 12.00, 17.00 dan 20.00.  Analisis data yang dilakukan berupa uji hubungan dengan uji rank spearman, uji pengaruh dengan bantuan analisis probit, uji beda variabel dengan uji anova dan uji krusskall-wallis  serta uji beda pasangan variabel dengan uji LSD dan Mann-Whitney.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik tempat penelitian
Suhu ruangan selama penelitian memiliki suhu rata-rata 25,80C dengan kisaran suhu antara 230C-300C. kelembaban ruangan. Kelembaban ruangan selama penelitian memiliki rata-rata 86,6% dengan kisaran kelembaban mulai dari 74% sampai dengan 98%.  
Suhu air normal normal dan perlakuan
Suhu air normal selama penelitian memiliki rata-rata  23,50C dan kisaran suhu mulai 22,50C sampai dengan 240C. Sedangkan Suhu air perlakuan selama penelitian memiliki rata-rata suhu terendah yaitu pada lampu 5W dengan suhu 25,970C, dan rata-rata suhu tertinggi yaitu pada suhu 100W dengan suhu 30,480C.
Jumlah telur yang menetas terbanyak pada pemanasan dengan lampu pijar berdaya 60W yaitu sebanyak 24 butir telur atau 96%. Penetasan paling cepat terjadi pada pemanasan dengan lampu pijar berdaya 40W dengan waktu 34,4 jam untuk 90% telur yang menetas menjadi larva. Pupa yang terbentuk terbanyak berjumlah 23,25 pupa atau 93 % dari jumlah telur awal pada lampu 40W dan pemanasan paling cepat untuk terbentuknya pupa pada pemanasan dengan lampu berdaya 100 W dengan waktu 146,2 jam atau + 7 hari untuk 90% perubahan dari larva ke pupa. Jumlah nyamuk didapatkan paling banyak pada pemanasan dengan lampu berdaya 40W dengan 22,75 nyamuk atau 97,8% dari jumlah telur awal dan paling cepat untuk pertumbuhan pupa menjadi nyamuk ada pada pemanasan dengan lampu berdaya 100W dengan 183,385 jam untuk 90% perubahan dari pupa ke nyamuk. Jumlah telur yang menetas menjadi larva, larva menjadi pupa dan pupa menjadi nyamuk serta estimasi waktunya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah dan Estimasi Waktu 90% Telur Menetas Menjadi Larva, Larva Menjadi Pupa dan Pupa Menjadi Nyamuk.
Daya Lampu (W)
n
f telur menetas
t telur menetas (jam)
f pupa
t pupa
(jam)
f
nyamuk
t nyamuk
(jam)

5
25
19,8
66,3
19,0
192,8
17,5
248,0
10
25
22,0
46,4
17,5
231,9
16,3
263,1
15
25
20,5
54,8
19,5
188,7
19,0
230,9
25
25
20,0
63,8
18,0
210,5
17,5
237,6
40
25
23,5
34,4
23,3
162,6
22,8
205,3
60
25
24,0
38,8
21,8
176,6
21,8
205,7
75
25
22,5
54,8
20,3
149,2
19,3
188,7
100
25
22,0
53,3
20,8
148,6
20,8
183,4
Uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan yang berkorelasi positif antara daya lampu dengan suhu air perlakuan. Ada perbedaan waktu untuk telur menetas menjadi larva, larva menjadi pupa dan pupa menjadi nyamuk serta ada perbedaan antar 2 variabel signifikan pada sebagian besar pasangan variabel. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rangkuman Jenis Uji Yang Dipergunakan untuk Penelitian Pengaruh Lampu Pijar Terhadap Penetasan Telur dan Perkembangan Larva Aedes Aegypti
Jenis uji
Alat uji
Variabel
Hasil
Uji hubungan
Rank spearman
Daya lampu dengan suhu perlakuan
p:0,0001
Uji perbedaan variabel
Anova
Waktu penetasan telur
p: 0,031
Uji beda antar 2 variabel
LSD
Waktu penetasan telur
Beda pada 10W,15W, 25W,40W, 60W,75W dan 100W
Uji perbedaan variabel
Anova
Waktu pupa terbentuk
p: 0,0001
Uji beda antar 2 variabel
LSD
Waktu pupa terbentuk
Beda pada 5W,10W,15W, 25W,
Uji perbedaan variabel
Krusskal-wallis
Waktu nyamuk terbentuk
p: 0,001
Uji beda antar 2 variabel
Mann-Whitney
Waktu nyamuk terbentuk
Beda pada 5W,10W,15W,25W,40W,60W,75W dan 100W

PEMBAHASAN

Suhu Air Perlakuan
Air yang ada pada gelas plastik mendapatkan pemaparan kalor dengan cara radiasi dari bola lampu sebagai sumber kalor. Pada penelitian ini tidak dilakukan penggantian air karena pergantian atau pencampuran air dapat mengurangi pengaruh suhu tinggi.
Uji korelasi rank spearman menunjukkan bahwa ada hubungan pemanasan lampu pijar dengan suhu air perlakuan dengan p:0,0001. Hubungan pemanasan lampu pijar dalam berbagai daya dengan suhu air perlakuan berlangsung positif dimana dengan penambahan daya  pada lampu pijar maka semakin tinggi pula suhu air perlakuan. Pada penelitian ini Lampu pijar sebagai sumber panas akan melepaskan panas dengan cara radiasi ke lingkungan. Besarnya panas yang dikeluarkan sebanding dengan daya lampu. Semakin besar daya lampu semakin besar pula energi panas yang dihasilkan. Panas yang dikeluarkan oleh lampu diserap oleh air yang menyebabkan suhu air meningkat. Salah satu karakteristik air adalah cepat dalam menyerap panas tetapi cepat juga dalam melepaskan panas. Hal ini bisa dilihat dari besarnya pengaruh berupa kenaikan suhu tiap pemanasan.
Suhu air perlakuan diukur dengan cara rata-rata suhu air harian dari gelas perlakuan. Suhu air mengalami suhu tertinggi setiap pengukuran pada jam 12.00 WIB atau tepatnya pada saat siang hari karena pada saat itu matahari dapat memancarkan cahaya ke lingkungan dengan maksimal. Suhu terendah penelitian didapatkan pada pengukuran jam 8.00 WIB. Hal ini terjadi karena saat setelah sore hari tepatnya setelah matahari terbenam, lingkungan tidak mendapatkan pancaran kalor akibatnya terjadi pelepasan kalor dari lingkungan sehingga suhu air termasuk suhu air perlakuan menjadi lebih dingin.
Pada penelitian diperoleh suhu rata-rata air perindukan sebagai berikut pemanasan 5 W didapatkan rata-rata 25,970C. Pada pemanasan dengan lampu 10W didapatkan suhu rata-rata 26,480C. Pada pemanasan dengan lampu 15 W didapatkan suhu rata-rata 26,720C. Pada pemanasan dengan lampu 25W didapatkan rata-rata 26,850C. Pada pemanasan dengan lampu 40 W didapatkan rata-rata 27,410C. Pada pemanasan dengan lampu 60W didapatkan rata-rata 28,390C. Pada pemanasan dengan lampu 75W didapatkan rata-rata 29,450C. Dan pemanasan yang terakhir pada pemanasan dengan lampu 100W didapatkan rata-rata 30,480C. Suhu air perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Grafik suhu air perlakuan
Pada pengukuran air tanpa pemanasan dengan lampu pijar didapatkan rata-rata suhu sebesar 23,50C. Suhu air normal tanpa mendapat perlakuan berupa pemanasan dengan lampu pijar dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Suhu Air Normal Pada Laboratorium Uji Kaji Insektisida B2P2VRP tanggal 18-31 januari 2011

Besarnya pengaruh pemanasan pada suhu air perindukan dapat ditentukan dengan menentukan selisih antara suhu air akibat pemanasan dengan suhu rata-rata tanpa pemanasan. Jadi besarnya pengaruh pemanasan dengan lampu 5W terdapat selisih sebesar 2,50C, pemanasan dengan lampu 10W terdapat selisih sebesar 2,980C, pemanasan dengan lampu 15W terdapat selisih sebesar 3,20C, pemanasan dengan lampu 25W terdapat selisih sebesar 3,40C, pemanasan dengan lampu 40W terdapat selisih sebesar 3,90C, pemanasan dengan lampu 60W terdapat selisih sebesar 4,90C, pemanasan dengan lampu 75W terdapat selisih sebesar 5,950C dan pemanasan dengan lampu 100W terdapat selisih sebesar 6,980C.
Pengaruh pemanasan air perindukan nyamuk dengan lampu pijar telah meningkatkan suhu air perindukan ke suhu optimal untuk perkembangbiakan nyamuk yaitu: pada suhu optimal telur menetas menjadi larva pada suhu 250C-270C, perubahan larva menjadi pupa 250C-300C dan  perubahan pupa menjadi nyamuk 270C-320C.1 Adapun suhu tercepat untuk telur menetas menjadi larva pada penelitian ada pada pemanasan dengan 40W dengan suhu rata-rata 27,410C. Suhu tercepat untuk larva berubah menjadi pupa dan pupa berubah menjadi nyamuk pada penelitian ada pada lampu 100 W dengan rata-rata suhu 30,480C.
Penetasan Telur
Pada penelitian ini telur pertama kali menetas setelah direndam air selama 3 jam. Urutan penetasan telur pertama kali ada pada pemanasan dengan lampu pijar berdaya 5W, 25W, 100W , 40W dan 60W.
Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan telur dengan 2 cara yaitu mempengaruhi kecepatan metabolisme telur dan mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut dalam air. Pada penelitian ini suhu untuk penetasan terbanyak terdapat pada lampu 60W yang bersuhu 28,390C tetapi waktu paling cepat untuk penetasan telur menjadi larva pada populasi, ada pada suhu 40W yang memiliki rata-rata suhu 27,380C yang mendekati dengan suhu optimal. Kecepatan telur menetas menjadi larva dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Kecepatan Telur Menetas Menjadi Larva
Adapun kecepatan penetasan telur yang paling cepat berdasarkan penetasan kelompok telur adalah pemanasan dengan suhu 40W yang membutuhkan waktu 34,4  jam (+ 2 hari) untuk 90% penetasan telur. Kecepatan penetasan ini dipengaruhi oleh suhu air yang berada pada suhu optimal untuk menetaskan telur yaitu 27,380C dengan rata-rata pengukuran pada saat itu antara 26,50C sampai dengan 280C. suhu optimal telur akan membuat metabolisme maksimal dengan kadar oksigen terlarut yang sesuai dengan kebutuhan telur yang nantinya akan berdifusi ke dalam telur, untuk memenuhi kebutuhan metabolisme telur.
Kerusakan telur saat penyimpanan karena paparan panas dapat terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Uda (2008) yang mengkaji tentang efek lama pencahayaan telur Aedes saat penyimpanan terhadap daya tetas telur Aedes albopictus dengan menempatkan telur tersebut pada ruang dengan suhu 310C sebelum berada dalam air, menyimpulkan bahwa semakin lama telur terpapar cahaya sebelum terpapar air, semakin menurun kadar penetasan dan penurunan kadar penetasan terjadi secara linear dari hari ke hari.2
Jadi apabila dikaitkan dengan penelitian ini, dimungkinkan kurangnya penetasan telur pada penelitian ini dikarenakan paparan cahaya pada telur sebelum dilakukan penelitian.
Penetasan telur tidak dapat terjadi apabila telur tersebut:1
1.      Fase embrionasi yang tidak lengkap
2.      Dalam keadaan diapause
3.      Tidak terkondisi dengan lingkungan sekitar, termasuk tingkat kekeringan dan kelembaban chorion (struktur cangkang) dan
4.      air tempat telur tidak dapat memberikan stimulus berupa kandungan oksigen terlarut.
Perkembangan Larva menjadi Pupa
Pada penelitian ini pupa yang terbentuk paling banyak pada lampu dengan daya 40W sebanyak  23,25 (93% dari total larva). Untuk keseluruhan pupa terbentuk mulai dari hari ke-5 sampai dengan hari ke-10. Suhu pada setiap pemanasan termasuk dalam suhu optimal untuk pertumbuhan larva. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Pada suhu 250C-300C larva dapat menjadi pupa dalam 5-7 hari.1Pupa pertama kali terbentuk pada jam ke-118 (+ 5 hari) dengan pemanasan lampu berdaya 5W, 60W dan 100 W dengan jumlah pupa yang terbentuk 1pupa, 3 pupa dan 9 pupa.
Pengaruh suhu pada setiap pemanasan mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk menjadi pupa. Dengan analisis probit didapatkan bahwa pertumbuhan larva menjadi pupa paling cepat berdasarkan perubahan kelompok larva menjadi pupa pada pemanasan dengan lampu 100W yang membutuhkan waktu 146,2 jam (7 hari) untuk membentuk 90% pupa. Kecepatan larva menjadi pupa dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Kecepatan Larva Menjadi Pupa
Pupa pertama terbentuk mulai jam ke 118 (5 hari) penelitian. Hal ini sesuai dengan teori nyang menyatakan bahwa peningkatan suhu air dapat meningkatkan aktivitas makan organisme, meningkatkan metabolisme organisme, penurunan oksigen terlarut, dan pada suhu ekstrim menyebabkan kematian kultur.3 Peningkatan kecepatan metabolisme larva menjadi pupa karena pengaruh pemanasan dengan lampu pijar sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada semua makhluk hidup di Bumi yang terdiri dari molekul air dan protein kompleks, apabila mendapat pengaruh sumber panas maka molekul air menjadi tidak stabil karena jika molekul air dioksilasikan dengan panjang gelombang antara 8-10 mikron (itu adalah panjang gelombang oksilasi air) akan terjadi semacam getaran ketidakstabilan (resonansi) yang dapat menyebabkan ionisasi air tersebut menjadi ion Hidrogen (H+) dan Hidroksil (OH-) yang terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi (10/12 detik). Ionisasi ini dinamakan "Pengaktifan Air“. Jika proses pengaktifan ini terjadi di seluruh tubuh manusia, metabolisme sel dan proses pembuangan sisa metabolisme sel menjadi lebih aktif dan efektif.
Kematian larva mungkin diakibatkan karena:
1.    Larva gagal menyesuaikan diri dengan lingkungan1, beberapa kematian terjadi tepat setelah telur menetas,
2.    Benturan fisik pada larva, hal ini dimungkinkan karena penelitian ini membutuhkan data suhu serta jumlah larva yang mengakibatkan pengukuran dengan termometer dan pengambilan dengan pipet selalu dilakukan sehingga membuat adanya kemungkinan larva terganggu.
Perkembangan Pupa Menjadi Nyamuk
Pada penelitian ini keseluruhan pembentukan nyamuk dimulai dari hari ke 7 sampai dengan hari 12 dengan perubahan pupa antara 33 jam (1,4 hari) – 58 jam (2,4 hari).  Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Perkembangan dari pupa menjadi nyamuk berlangsung selama 1-5 hari tergantung pada suhu, pada suhu optimum yaitu 800F-900F (270C-320C) stadium pupa jantan berlangsung 1,9 hari dan betina 2,5 hari.4 Waktu tercepat yang diperlukan untuk pupa jantan dan betina menjadi nyamuk jantan dan betina pada penelitian terjadi pada pemanasan 100 W dengan + 33 jam (1,4 hari) dan + 43 jam (1,8 hari).
Analisis probit menunjukkan bahwa pemanasan dengan menggunakan lampu 100W memiliki waktu untuk pembentukan nyamuk paling cepat yaitu 183,385 jam (8 hari) untuk menetaskan 90% pupa awal. Kecepatan pupa menjadi nyamuk dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Kecepatan Pupa Menjadi Nyamuk
Adapun kematian pupa sebagai berikut: pada pemanasan dengan lampu 5W ada 6 pupa, lampu 10W ada 5 pupa, lampu 15W ada 2 pupa, lampu 25W ada 2 pupa, pada lampu 40 W ada 2 pupa, pada lampu 60W ada 2 pupa dan pada lampu 75 W ada 4 pupa.
Kematian pupa yang terjadi dimungkinkan karena: Gagal beradaptasi dengan lingkungan baru. Pupa yang belum sempurna, kematian pupa terjadi pada pupa yang masih baru, yang masih berwarna putih. Hal ini mungkin terjadi karena pupa tidak dapat beradaptasi dengan suhu lingkungan pada saat pemindahan ke gelas khusus pupa.

Kesimpulan
1.         Pada penetasan  dengan pemanasan lampu pijar didapatkan telur menetas sebanyak 24 (96%) pada pemanasan lampu 60W dengan penetasan telur menjadi larva pertama kali pada jam ke 3 penelitian pada pemanasan dengan lampu 5W, 25W, 100W , 40W dan 60W. Pupa yang terbentuk pada pemanasan lampu 40W didapatkan telur sebanyak 23,25 (98,9%) dan nyamuk yang terbentuk sebanyak 22,75 (97,8%) pada pemanasan lampu 40W.
2.         Rata-rata suhu air perlakuan paling tinggi pada pemanasan 100W dengan suhu 30,480C dan paling rendah pada pemanasan 5W dengan suhu  25,970C.
3.         Penetasan telur paling cepat pada pemanasan 40 W dengan 34,4 jam, pertumbuhan larva menjadi pupa dan pupa menjadi nyamuk paling cepat pada pemanasan lampu 100W dengan 146,2 jam dan 183,385 jam.
4.         Ada hubungan yang berkorelasi positif antara pemanasan lampu pijar dengan suhu air dengan p:0,0001. Ada perbedaan waktu penetasan telur, waktu pupa terbentuk dan waktu nyamuk terbentuk pada tiap pemanasan lampu pijar.
5.         Penetasan paling efektif untuk perkembanganbiakan nyamuk Aedes aegypti  dengan lampu pijar adalah pemanasan dengan lampu 40W.
Keterbatasan penelitian
1.         Dalam pelaksanaan pengamatan subyek penelitian harus di keluarkan dari gelas plastik dan pengukuran dilakukan diluar tempat perlakuan sehingga ada kemungkinan suhu turun karena adanya perpindahan panas ke lingkungan lebih besar.
2.         Keterbatasan peneliti untuk melaksanakan pengamatan setiap jam, oleh karena itu diambil waktu pengamatan penelitian yang juga dapat melihat pengaruh faktor lingkungan terhadap penelitian.
Daftar pustaka
1.         Hardwood, R. F. dan Maurice T. J. Entomology In Human And Annimal Health. New york: macmillan publishing co inc., 1979
2.         Uda, S., Ahmad Ramli Saad dan Chien Mee Yieng.  Analisis Kadar Penetasan Aedes albopictus Menggunakan Sukatan Berulang. Malaysian jurnal of mathematical sciences, 2 (2), 2008; hlm 125-132
3.         SITH, ITB ,VEDCA dan SEAMOLEC. Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. 2009. (Online). (www.search-docs.com diakses tanggal 14 Agustus 2010)
4.         Prasetyo, A. Perkembangan Nyamuk Aedes aegypti dari Telur sampai Dewasa pada Berbagai Volume Air. Skripsi tidak di dipublikasikan. Semarang : Universitas diponegoro, 1998


Tidak ada komentar:

Posting Komentar